
Berkshire Mall – Mode, Belanja, & Bisnis – Kolaborasi mall dan e-commerce kini membentuk ulang strategi ritel, mendorong brand menggabungkan pengalaman fisik dan digital secara agresif.
Selama beberapa tahun terakhir, kolaborasi mall dan e-commerce berkembang pesat. Brand tidak lagi melihat toko fisik dan toko online sebagai dua kubu berseberangan. Sebaliknya, keduanya menjadi satu ekosistem penjualan yang saling menguatkan. Konsumen ingin fleksibilitas, namun tetap membutuhkan interaksi langsung.
Karena itu, pengelola pusat perbelanjaan mulai membuka diri. Mereka menyediakan area khusus untuk tenant online yang ingin hadir secara offline. Di sisi lain, platform digital membantu mall menarik pengunjung baru lewat promosi bersama. Pola ini menggeser fokus dari persaingan ke sinergi.
Contoh konkret kolaborasi mall dan e-commerce terlihat pada konsep omnichannel. Brand mengizinkan pelanggan memesan produk melalui aplikasi, lalu mengambilnya di toko fisik di dalam mall. Pola click and collect ini menambah alasan konsumen datang ke pusat perbelanjaan.
Selain itu, banyak pusat perbelanjaan memanfaatkan marketplace untuk memperluas jangkauan tenant. Produk yang terpajang di etalase mall juga tersedia di katalog online. Akibatnya, batas antara toko offline dan online menjadi kabur. Yang menonjol bukan lagi kanal, melainkan kenyamanan pelanggan.
Meski kolaborasi mall dan e-commerce meningkat, tensi kompetisi belum hilang. E-commerce menawarkan harga lebih agresif, promo masif, dan kemudahan berbelanja dari rumah. Hal ini menekan tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan, terutama saat periode diskon besar-besaran di platform digital.
Sementara itu, pengelola mall merespons dengan meningkatkan kualitas pengalaman kunjungan. Mereka menghadirkan event, hiburan keluarga, dan tenant gaya hidup yang sulit digantikan layar ponsel. Sementara itu, brand ritel terpaksa menata ulang strategi harga, stok, dan promosi agar selaras di kedua kanal.
Bagi banyak pelaku usaha, kolaborasi mall dan e-commerce terwujud melalui strategi omnichannel yang serius. Data pelanggan dari transaksi online diintegrasikan dengan sistem di toko fisik. Dengan begitu, brand memahami pola belanja dan dapat menawarkan promosi yang tepat sasaran di semua kanal.
Selain itu, konsumen bisa mengecek ketersediaan stok di toko mall melalui aplikasi sebelum datang. Hal ini mengurangi risiko kekecewaan dan membuat perjalanan ke pusat perbelanjaan lebih terencana. Di sisi lain, toko fisik menjadi lokasi penting untuk pengambilan barang retur, konsultasi produk, dan layanan purna jual.
Pola kolaborasi mall dan e-commerce mengubah cara konsumen kota mengambil keputusan belanja. Banyak orang melakukan riset produk secara online, melihat ulasan, lalu mencoba barang langsung di mall sebelum membeli. Sementara itu, sebagian pelanggan lain mencoba di toko fisik, kemudian menunggu promo online untuk melakukan transaksi.
Perpaduan dua perilaku ini menciptakan perjalanan pelanggan yang kompleks. Namun, jika dikelola dengan baik, brand dapat memanfaatkan setiap titik kontak untuk menguatkan loyalitas. Meski begitu, ketidaksinkronan harga dan stok antara kanal dapat merusak kepercayaan konsumen dengan cepat.
Teknologi menjadi penghubung utama kolaborasi mall dan e-commerce. Sistem manajemen stok terintegrasi, pembayaran digital, hingga program loyalti lintas kanal menjadi fondasi operasi. Tanpa integrasi data, sulit bagi brand dan pengelola pusat perbelanjaan untuk menawarkan pengalaman yang konsisten.
Di sisi lain, analitik perilaku pengunjung mall yang digabungkan dengan data transaksi online memberi wawasan baru. Pengelola dapat menyusun tata letak tenant, event, dan promosi sesuai pola kunjungan dan minat pengunjung. Karena itu, investasi teknologi tidak lagi pilihan, melainkan kebutuhan.
Baca Juga: Strategi omnichannel yang menghubungkan toko fisik dan kanal digital
Tekanan dan peluang dari kolaborasi mall dan e-commerce mendorong lahirnya model bisnis baru. Beberapa mall mengembangkan studio live shopping di area mereka. Tenant dapat melakukan siaran langsung dengan latar toko nyata, memadukan interaksi digital dan suasana fisik.
Selain itu, ruang logistik mikro mulai hadir di area parkir atau lantai bawah tanah. Ruang ini mendukung pengiriman cepat dari toko di dalam mall ke pelanggan sekitar. Akibatnya, pusat perbelanjaan berfungsi ganda sebagai showroom, tempat hiburan, dan hub distribusi last mile.
Meskipun kolaborasi mall dan e-commerce menjanjikan, tantangan implementasi cukup besar. Pertama, banyak pelaku ritel belum memiliki sistem teknologi yang siap terhubung. Kedua, negosiasi antara pengelola mall, tenant, dan platform online sering kali rumit, terutama terkait data dan pembagian keuntungan.
Selain itu, sumber daya manusia harus beradaptasi. Tim penjualan di toko perlu memahami proses online seperti pemesanan, retur, dan pick-up in store. Bahkan, mereka harus mampu melayani pelanggan yang sudah sangat terinformasi dari dunia digital.
Ke depan, kolaborasi mall dan e-commerce diperkirakan akan semakin dalam. Brand yang mampu menyatukan dua kanal secara mulus akan lebih unggul dalam persaingan. Konsumen akan terbiasa berpindah antara layar dan lorong toko tanpa memikirkan batas di antaranya.
Pada akhirnya, pertanyaan apakah keduanya kolaborasi atau kompetisi menjadi kurang relevan. Keduanya akan terus bersinggungan, kadang saling menekan, namun juga saling menguatkan. Bagi pelaku usaha yang adaptif, kolaborasi mall dan e-commerce justru membuka ruang pertumbuhan baru.